Tauhid
yang benar akan melahirkan keikhlasan melaksanakan ibadah. Tauhid yang benar
adalah mata air dari lahirnya berbagai
sifat yang terpuji dalam kehidupan. Salah satunya adalah keikhlasan.
Dalam
Al-Qur’an Allah SWT. Menyatakan :
“padahal
mereka disuruh kecuali menyembah Allah dengan menunaikan ketaatan kepada-Nya
dalam ( menjalankan ) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”(Al-Bayyinah: 5 ).
Agama yang lurus adalah agama yang jauh dari kesyirikan dan
kesesatan. Ikhlas adalah memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama
ini, dan membersihkan diri dari terselipnya niat-niat lain yang bersifat
keduniaan. Tujuannya dalam beribadah semata-mata adalah berharap keridhaan dari
Allah SWT.
Ikhlas adalah inti dari segala amal. Ia terkait dengan niat
seseorang dalam melaksanakan perbuatan. Keikhlasan menjadi penentu diterimanya
sebuah amal atau tidak. Semakin ikhlas seseorang melaksanakan amal kebaikan,
maka semakin besar pula kemungkinan amalan tersebut diterima Allah SWT.
Dalam
Bahasa Arab, ikhlas berasal dari kata Khalasha
berarti
bersih, murni, dan sehat ( demikian diterangkan oleh Ibnul Manzhur dalam Kamus Lisanul ‘Arab pada kata khalasha ). Ikhlas secara bahasa bisa berarti usaha untuk membersihkan diri. Ikhlas juga bermakna tauhid atau pengesaan Allah dari segala sekutu. Surah Al-Ikhlash dikenal juga dengan nama surah At-Tauhid karena berisi pengungkapan tauhid kepada Allah SWT. Ibnul Atsir menyatakan kalimatul ikhlas berarti kalimatuttauhid atau ucapan tauhid. Pengungkapan keadaan orang yang ikhlas dalam Al-Qur’an biasanya menggunakan tiga kata yaitu khalish, mukhlisin, dan mukhlashin.
bersih, murni, dan sehat ( demikian diterangkan oleh Ibnul Manzhur dalam Kamus Lisanul ‘Arab pada kata khalasha ). Ikhlas secara bahasa bisa berarti usaha untuk membersihkan diri. Ikhlas juga bermakna tauhid atau pengesaan Allah dari segala sekutu. Surah Al-Ikhlash dikenal juga dengan nama surah At-Tauhid karena berisi pengungkapan tauhid kepada Allah SWT. Ibnul Atsir menyatakan kalimatul ikhlas berarti kalimatuttauhid atau ucapan tauhid. Pengungkapan keadaan orang yang ikhlas dalam Al-Qur’an biasanya menggunakan tiga kata yaitu khalish, mukhlisin, dan mukhlashin.
Kata
khalish mempunyai arti : yang bersih
atau yang murni. Mukhlishin berarti
orang-orang yang memurnikan niat dan ibadah mereka hanya kepada Allah SWT. Mukhlishin juga berarti orang-orang yang
mempunyai ketauhidan yang kuat kepada Allah SWT. Sementera mukhlashin berarti orang-orang yang terpilih. Karena mereka sungguh-sungguh
memurnikan niat dan ketaatan mereka kepada Allah, maka Allah memasukan mereka
kedalam golongan hamba-hamba-Nya yang terpilih.
Imam
Al-Munawi menyatakan bahwa ikhlas itu adalah usaha untuk membersihkan hati dari
segala hal yang mengotori kejernihannya.
Imam
Al-Jurjani menyatakan bahwa ikhlas itu adalah tidak mengharapkan adanya saksi
selain Allah SWT. Hakikat keikhlasan adalah membersihkan diri dari segala
sesuatu selain Allah SWT. Ikhlas juga berarti memurnikan hati dalam
melaksanakan segala amalan, tujuannya semata-mata hanyalah karena Allah SWT.
Dalam
hati yang ikhlas tidak ada lagi perasaan riya, bangga diri, kebohongan, dan
pengharapan yang penuh kepada selain Allah. Imam Ibnu Qudamah menyatakan bahwa
ikhlas lawannya adalah syirik. Siapa yang tidak ikhlas berarti ia telah berbuat
syirik. Hanya saja syirik itu bertingkat-tingkat; ada yang bisa mengeluarkan
dari agama dan ada yang hanya menghapus pahala atau mengurangi nilai sebuah
amal.
Imam
Ibnu Taimiyyah pernah menyatakan bahwa keikhlasan dalam melaksanakan ajaran
agama adalah penentu diterimanya sebuah amalan. Ia adalah inti ajaran para nabi
dan kitab-kitab suci terdahulu. Ia juga
merupakan intisari dari kandungan Al-Qur’an.
Sementara
Imam Fudhail bin Iyadh menyatakan bahwa mengerjakan amal karena orang lain
adalah riya. Sementara meniggalkan
amalan karena orang lain adalah syirik.
Ikhlas adalah ketika kita terbebas dari dua keadaan itu ( riya dan syirik ).
Keikhlasan
tidak hanya menjadi syarat pada amal ibadah, namun ikhlas juga patut dihadirkan
ketika melakukan amalan-amalan yang sepele dan biasa. Misalnya: ketika kita
menyapu rumah, mengerjakan tugas sekolah, membantu orang lain atau hal-hal lain
yang kita anggap sekedar rutinitas sehari-hari. Niat ikhlas dapat menjadikkan rutinitas yang biasa
ini sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT dan membuat apa yang kita lakukan
menjadi lebih berarti.
Sebaliknya,
pekerjaan besar yang kita lakukan tidak akan ada nilainya bila tidak diiringi
oleh keikhlasan. Naik haji berkali-kali, menyantuni orang miskin dengan nominal
sekian puluh juta rupiah, berpartisipasi aktif dalam proyek-proyek kebajikan,
atau kegiatan apapun, bila tidak diiringi oleh niat maka semuanya menjadi
hampa. Niat ikhlas inilah yang menentukan amalan mempunyai nilai atau tidak.
Abdullah
Ibnul Mubarak pernah berkata :
“ Betapa banyak amalan kecil namun
menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan besar namun menjadi kecil
karena niat”.
Proses
pemurnian ibadah ini menjadi suatu hal yang sulit, sebab dalam pelaksanaannya
sering terselip niat-niat yang lain selain niat mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Misalnya orang yang melaksanakan puasa ramadhan atau puasa sunah, selain
untuk mengharap ridha Allah Swt, ia juga
ingin menjadi sehat dengan puasa. Atau orang bersedekah, Ia memang mengharap
ridha Allah tapi sekaligus juga berharap ganti yang lebih besar dan mendapatkan
simpati orang lain.
Atau
bangun untuk shalat malam, karena memang dia punya kepentingan untuk menjaga
keluarganya dari pencuri, atau sekedar mengisi waktu menanti siaran sepakbola (
tujuan utamanya bangun ialah menonton sepakbola itu ). Atau giat belajar agar
bisa mendapatkan uang dan membuat orang lain berdecak kagum atas semua
kemampuannya.
Ia
memang mengharap ridha Allah atas usaha dan amalan yang ia lakukan, Tapi ada niat-niat sampingan yang mengiringi
niat awalnya tadi. Dan justru dengan adanya niat-niat sampingan inilah yang
membuatnya bersemangat untuk melakukan amalan-amalan kebajikan. Dalam kondisi
seperti ini, ia dinilai tidak ikhlas lagi. Parahnya, seperti kata Imam Al-Ghazali, sedikit sekali orang-orang
yang terbebas dari selipan perasaan-perasaan sampingan ini.
Oleh
karena itu para ulama mengatakan : barangsiapa
yang seumur hidupnya sempat berlaku ikhlas kepada Allah walau sejenak saja,
maka ia akan selamat di akhirat. Ini saking susahnya berlaku ikhlas dan
susahnya membersihkan hati dari niat-niat yang lain selain mendekatkan diri
kepada Allah. Hakikat keikhlasan adalah hanya Allah yang ada dii hati saat
melakukan sebuah amalan.
Ketika
Imam Sahl bin Abddullah ditanya: “apakah pekerjaan yang paling susah bagi jiwa
?” Beliau menjawab: “ikhlas, sebab pada saat itu jiwa tidak mendapatkan
apa-apa”.
Imam
Abu Sulaiman pernah berkata, ”sungguh amat beruntung orang yang bersih satu
langkah kakinya dan hanya mengharap ridha Allah ketika itu”.
Maka
penting bagi kita semua untuk senantiasa bermohon kepada Allah Swt untuk
dikaruniai keikhlasan. Berusaha memperbaiki dan memperbaharui niat dalam setiap
aktifitas yang kita lakukan, agar semua aktifitas itu bernilai ibadah dan
menjadi tambahan deposito amal kebaikan kita di akhirat. Yang lebih penting
lagi, dengan ikhlas kita bisa menikmati kehidupan.
Semoga
kita diberikan kemurnian dalam tauhid dan keikhlasan dalam beribadah, sehingga
apapun yang kita lakukan tidak sia-sia dan mendapat keridhaan Allah Swt.amiin.
Sumber
: buletin da’wah taushiyah Muhammadiyah
Untuk Lebih Banyak Game klik link berikut : Game
Untuk belajar tentang pengetahuan komputer Klik : Komputer
0 comments:
Post a Comment