Saturday, May 4, 2013

Pengertian Tauhid

Standard

Tauhid yang benar akan melahirkan keikhlasan melaksanakan ibadah. Tauhid yang benar adalah mata air dari lahirnya berbagai  sifat yang terpuji dalam kehidupan. Salah satunya adalah keikhlasan.

Dalam Al-Qur’an Allah SWT. Menyatakan :
“padahal mereka disuruh kecuali menyembah Allah dengan menunaikan ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”(Al-Bayyinah: 5 ).
          Agama yang lurus adalah agama yang jauh dari kesyirikan dan kesesatan. Ikhlas adalah memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama ini, dan membersihkan diri dari terselipnya niat-niat lain yang bersifat keduniaan. Tujuannya dalam beribadah semata-mata adalah berharap keridhaan dari Allah SWT.
          Ikhlas adalah inti dari segala amal. Ia terkait dengan niat seseorang dalam melaksanakan perbuatan. Keikhlasan menjadi penentu diterimanya sebuah amal atau tidak. Semakin ikhlas seseorang melaksanakan amal kebaikan, maka semakin besar pula kemungkinan amalan tersebut diterima Allah SWT.
Dalam Bahasa Arab, ikhlas berasal dari kata Khalasha berarti
bersih, murni, dan sehat ( demikian diterangkan oleh Ibnul Manzhur dalam Kamus Lisanul ‘Arab pada kata khalasha ). Ikhlas secara bahasa bisa berarti usaha untuk membersihkan diri. Ikhlas juga bermakna tauhid atau pengesaan Allah dari segala sekutu. Surah Al-Ikhlash dikenal juga dengan nama surah At-Tauhid karena berisi pengungkapan tauhid kepada Allah SWT. Ibnul Atsir menyatakan kalimatul ikhlas berarti kalimatuttauhid atau ucapan tauhid. Pengungkapan keadaan orang yang ikhlas dalam Al-Qur’an biasanya menggunakan tiga kata yaitu khalish, mukhlisin, dan mukhlashin.
Kata khalish mempunyai arti : yang bersih atau yang murni. Mukhlishin berarti orang-orang yang memurnikan niat dan ibadah mereka hanya kepada Allah SWT. Mukhlishin juga berarti orang-orang yang mempunyai ketauhidan yang kuat kepada Allah SWT. Sementera mukhlashin berarti orang-orang yang terpilih. Karena mereka sungguh-sungguh memurnikan niat dan ketaatan mereka kepada Allah, maka Allah memasukan mereka kedalam golongan hamba-hamba-Nya yang terpilih.
Imam Al-Munawi menyatakan bahwa ikhlas itu adalah usaha untuk membersihkan hati dari segala hal yang mengotori kejernihannya.
Imam Al-Jurjani menyatakan bahwa ikhlas itu adalah tidak mengharapkan adanya saksi selain Allah SWT. Hakikat keikhlasan adalah membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah SWT. Ikhlas juga berarti memurnikan hati dalam melaksanakan segala amalan, tujuannya semata-mata hanyalah karena Allah SWT.
Dalam hati yang ikhlas tidak ada lagi perasaan riya, bangga diri, kebohongan, dan pengharapan yang penuh kepada selain Allah. Imam Ibnu Qudamah menyatakan bahwa ikhlas lawannya adalah syirik. Siapa yang tidak ikhlas berarti ia telah berbuat syirik. Hanya saja syirik itu bertingkat-tingkat; ada yang bisa mengeluarkan dari agama dan ada yang hanya menghapus pahala atau mengurangi nilai sebuah amal.
Imam Ibnu Taimiyyah pernah menyatakan bahwa keikhlasan dalam melaksanakan ajaran agama adalah penentu diterimanya sebuah amalan. Ia adalah inti ajaran para nabi dan kitab-kitab suci terdahulu. Ia juga  merupakan intisari dari kandungan Al-Qur’an.
Sementara Imam Fudhail bin Iyadh menyatakan bahwa mengerjakan amal karena orang lain adalah riya. Sementara meniggalkan amalan karena orang lain adalah syirik. Ikhlas adalah ketika kita terbebas dari dua keadaan itu  ( riya dan syirik ).
Keikhlasan tidak hanya menjadi syarat pada amal ibadah, namun ikhlas juga patut dihadirkan ketika melakukan amalan-amalan yang sepele dan biasa. Misalnya: ketika kita menyapu rumah, mengerjakan tugas sekolah, membantu orang lain atau hal-hal lain yang kita anggap sekedar rutinitas sehari-hari. Niat  ikhlas dapat menjadikkan rutinitas yang biasa ini sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT dan membuat apa yang kita lakukan menjadi lebih berarti.
Sebaliknya, pekerjaan besar yang kita lakukan tidak akan ada nilainya bila tidak diiringi oleh keikhlasan. Naik haji berkali-kali, menyantuni orang miskin dengan nominal sekian puluh juta rupiah, berpartisipasi aktif dalam proyek-proyek kebajikan, atau kegiatan apapun, bila tidak diiringi oleh niat maka semuanya menjadi hampa. Niat ikhlas inilah yang menentukan amalan mempunyai nilai atau tidak.
Abdullah Ibnul Mubarak pernah berkata :
“ Betapa banyak amalan kecil namun menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan besar namun menjadi kecil karena niat”.
Proses pemurnian ibadah ini menjadi suatu hal yang sulit, sebab dalam pelaksanaannya sering terselip niat-niat yang lain selain niat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Misalnya orang yang melaksanakan puasa ramadhan atau puasa sunah, selain untuk mengharap ridha Allah Swt, ia juga  ingin menjadi sehat dengan puasa. Atau orang bersedekah, Ia memang mengharap ridha Allah tapi sekaligus juga berharap ganti yang lebih besar dan mendapatkan simpati orang lain.
Atau bangun untuk shalat malam, karena memang dia punya kepentingan untuk menjaga keluarganya dari pencuri, atau sekedar mengisi waktu menanti siaran sepakbola ( tujuan utamanya bangun ialah menonton sepakbola itu ). Atau giat belajar agar bisa mendapatkan uang dan membuat orang lain berdecak kagum atas semua kemampuannya.
Ia memang mengharap ridha Allah atas usaha dan amalan yang ia lakukan,   Tapi ada niat-niat sampingan yang mengiringi niat awalnya tadi. Dan justru dengan adanya niat-niat sampingan inilah yang membuatnya bersemangat untuk melakukan amalan-amalan kebajikan. Dalam kondisi seperti ini, ia dinilai tidak ikhlas lagi. Parahnya, seperti kata Imam Al-Ghazali, sedikit sekali orang-orang yang terbebas dari selipan perasaan-perasaan sampingan ini.
Oleh karena itu para ulama mengatakan : barangsiapa yang seumur hidupnya sempat berlaku ikhlas kepada Allah walau sejenak saja, maka ia akan selamat di akhirat. Ini saking susahnya berlaku ikhlas dan susahnya membersihkan hati dari niat-niat yang lain selain mendekatkan diri kepada Allah. Hakikat keikhlasan adalah hanya Allah yang ada dii hati saat melakukan sebuah amalan.
Ketika Imam Sahl bin Abddullah ditanya: “apakah pekerjaan yang paling susah bagi jiwa ?” Beliau menjawab: “ikhlas, sebab pada saat itu jiwa tidak mendapatkan apa-apa”.
Imam Abu Sulaiman pernah berkata, ”sungguh amat beruntung orang yang bersih satu langkah kakinya dan hanya mengharap ridha Allah ketika itu”.
Maka penting bagi kita semua untuk senantiasa bermohon kepada Allah Swt untuk dikaruniai keikhlasan. Berusaha memperbaiki dan memperbaharui niat dalam setiap aktifitas yang kita lakukan, agar semua aktifitas itu bernilai ibadah dan menjadi tambahan deposito amal kebaikan kita di akhirat. Yang lebih penting lagi, dengan ikhlas kita bisa menikmati kehidupan.
Semoga kita diberikan kemurnian dalam tauhid dan keikhlasan dalam beribadah, sehingga apapun yang kita lakukan tidak sia-sia dan mendapat keridhaan Allah Swt.amiin. 

Sumber : buletin da’wah taushiyah Muhammadiyah

Untuk Lebih banyak Aplikasi klik Link berikut : Aplikasi
Untuk Lebih Banyak Game klik link berikut :  Game
Untuk belajar tentang pengetahuan komputer Klik : Komputer


0 comments: